HUKUM SEBAGAI ALAT KEJAHATAN (Law as tool of crime)

Liputan Hukum Indonesia.-

A. Pendahuluan
Pembicaraan tentang hukum, maka senantiasa selalu dikaitkan dengan adanya ketertiban, kenyamanan, kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat, sehingga Negara yang memiliki kewenangan serta dipandang sebagai senjata yang paling ampuh untuk dapat mewujudkan semua itu. Dari tataran ilmu sosial, khususnya ilmu hukum, maka telah banyak lahir berbagai definisi tentang topik diatas dan memang terasa aneh serta agak janggal. Sebab selama ini, jika berbagai pengertian serta berbagai fungsi yang kemudian sangat indah untuk dibaca maupun didengar karena hampir semua para ahli/ilmuwan yang mendifinisikan fungsi hukum substansinya adalah keadilan, kenyamanan, dan kesejahteraan, namun tidak jarang bahwa hukum yang semestinya sebagaai instrument justru menjadi tujuan. Dalam kehidupan hukum dinegara kita pada saat ini, wacana ini terus berlanjut dan berlarut larut, sehingga terkesan hukum itu hanya sekedar adanya permainan logika dan penafsiran kalimat tentang hukum yang berlaku saat ini. Keragamanan hukum dengan teknis yang memadai baik didalam maupun diluar Pengadilan, menjadi ekskulif milik orang tertentu yang berkecimpung didalam profesi hukum. Selanjutnya proses penyelesaian hukum menjadi ajang adu taktik, adu teknik, adu ketangkasan, maupun adu kelihaian didalam memainkan hukum untuk mereka, yang kemudian diketahui siapa yang lebih cerdik memainkan hukum dan tidak jarang dialah yang keluar sebagai pemenang dalam sidang tersebut. Acapkali konsultan hukum yang sudah memiliki jam terbang tinggi kemudian sangat lihai didalam memainkan hukum maka bisa membangun suatu konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak yang sedemikian canggih, sehingga kliennya dapat menang perkara sekalipun tanpa persidangan. Para Konsultan konsultan Hukum seperti ini biasanya berkolaborasi dengan para aparat penegak hukum : Polisi, Jaksa bahkan Hakim. Perbuatan jahat ini, yang menggunakan hukum sebagaai alatnya, maka menjadikan kejahatan yang sempurna, karena sulit dilacak, dan berada dalam hukum itu sendiri kemudian melibatkan aparat penegak hukum. Masyarakat saat ini sudah lelah dengan kalimats paradoks dan perilaku-perilaku yang menyimpang didalam dinamika hukum di bumi Ibu pertiwi ini, baik yang berasal dari berbagai pemberitaan media cetak, media elektronik, maupun suara-suara masyarakat yang dari hari ke hari tidak akan pernah sepi.

Salah satunya upaya masyarakat didalam memprotes dengan adanya ketimpangan hukum tersebut menyebutkan bahwa mengapa seseorang yang terbukti (sesuai fakta)

mencuri uang rakyat (korupsi, red) sehingga mempunyai dampak kepada masyarakat luas namun hukumannya  tidak sebanding dengan kadar perbuatannya, malahan perbuatannya tersebut dibandingkan dengan pelaku pencuri ayam. Dari hal tersebut maka didapatkan suatu ilustrasi bahwa masalah yang harus segera diatasi masih berkutat kepada persoalan lama yaitu: moralitas. Bilamana moralitas mereka yang berkecimpung dalam dunia hukum tidak di benahi, maka saya yakin dan percaya bahwa hukum akan terus menerus berkembang berbanding terbalik dengan “tujuan hukum yang sebenarnya”, Kuatnya tekanan politik untuk memaksakan personel yang bermasalah bukan tidak mungkin mengarah pada konsolidasi untuk melindungi kasus-kasus hukum yang melibatkan elite politik ataupun elite hukum. Sebut saja kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maupun rekening gendut para aparatur penegak hukum yang ada.

Impunitas kejahatan akan semakin sempurna ketika alat penegak hukum dikuasai oleh para penjahat. Dimensi kejahatan seperti ini akan jauh lebih berbahaya daripada kejahatan yang lainnya, karena bertindak untuk dan atas nama hukum.

Adalah sebuah kejahatan ketika atas nama hukum (berdasarkan hukum) melakukan tindakan hukum, tetapi dengan menyalahi prosedur hukum itu sendiri.

B. Pembahasan
1. Ujian bagi publik
Dalam konteks kepolisian, Coleman (1994) menyebutkan, petugas Kepolisian memiliki lebih banyak peluang untuk menerima pembayaran ilegal ketimbang pejabat publik yang lainnya karena mereka diminta menjalankan hukum yang lemah untuk mengontrol pasar gelap yang menguntungkan. Inilah yang dimanfaatkan elite politik dengan cara “mengganggu” pemilihan Kepala Kepolisian RI. Kejahatan semacam ini oleh Edwin Sutherland (1939) disebut sebagai bagian dari white collar crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dan status sosial tinggi. Korupsi politik yang tidak jadi bagian dari kejahatan yang menarik bagi penegak hukum konvensional (polisi dan jaksa). Sutherland berpendapat, “kejahatan jalanan” jauh lebih menarik bagi polisi, tetapi kejahatan “kelompok berseragam” yang sebetulnya menimbulkan kerugian paling besar bagi publik justru diabaikan.

Bahkan, dalam situasi ekstrem, potensi polisi akan digunakan sebagai tameng atas kejahatan tersebut sangat mungkin terjadi. Sebagai ilustrasi bahwa perbuatan korupsi di tubuh Instansi penegak hukum diyakini sebagai bagian dari kelompok yang resisten tinggi dan memilih untuk ikut serta dalam kriminalisasi terhadap penegakan hukum. Peristiwa semacam ini tak hanya terjadi di Indonesia.

Sebagai contoh, di Kota New York (Th. 1992-1993), pernah dibentuk Komisi Mollen yang ditugaskan untuk mengungkap korupsi di tubuh Kepolisian, khususnya yang berkaitan dengan narkoba. Mulai dari praktek kecurangan Polisi, pencurian dan penjualan barang bukti berupa narkoba, hingga pemerasan, dan seterusnya. Namun, para pejabat tinggi di internal kepolisian berusaha menghalangi penyelidikan (Obstruction of justice). Sikap diam dan loyalitas kepada sesama teman (Korps) lebih Mengemuka ketimbang keprihatinan pada pelanggaran sumpah jabatan (Frank E Hagan, 2013). Fakta di atas seperti menjadi cermin bagi Indonesia. Semangat untuk melindungi Korps jauh lebih ditonjolkan ketimbang memperbaiki institusinya;

menyelamatkan satu atau dua orang, tetapi dengan menghancurkan kredibilitas institusinya. Imbasnya dapat dilihat dalam proses hukum yang mengalami hambatan. Dalam pemanggilan Saksi, misalnya, beberapa orang Saksi ada yang tidak menghiraukan panggilan untuk dilakukan pemeriksaan. Bahkan, yang telah ditetapkan sebagai Tersangka juga menolak untuk diperiksa dengan alasan proses Praperadilan sedang berjalan. Padahal, tidak ada hubungan antara proses Praperadilan dan pemeriksaan terhadap Saksi ataupun Tersangka. Pada akhirnya, yang perlu dijaga adalah akal sehat publik dalam melihat dan menilai proses hukum yang sedang berjalan.

Jangan sampai publik melihat ini sebagai permainan hukum sehingga mempunyai potensi menggerus kepercayaan publik terhadap hukum (distrust) karena hukum telah dilihat sebagai bagian dari kejahatan. Jika penegak hukum diurus oleh orang yang bermasalah secara hukum, bukan tidak mungkin kepolisian akan menjadi bagian dari kejahatan.
Law as tool of crime, adalah suatu perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya dan merupakan kejahatan yang sempurna, dikarenakan sulit dilacak, hal ini disebabkan adanya perbuatan yang diselubungi oleh hukum dan berada didalam wilayah hukum tanpa adanya upaya untuk tidak melakukannya, (Nitibaskara,2001).

Peristiwa itu menunjukkan telah terjadi upaya sistematis, menggunakan hukum, untuk mengesahkan tindak kejahatan. Tragisnya, pelaku utama justru aparat penegak hukum yang ditugasi negara melawan kejahatan yang dikerjakan sendiri. Lebih memilukan lagi, kejadian ini melibatkan bawahan-atasan dan jabatan sejajar serta membentuk organized crime. WJ Chambliss (1988) menyebutnya state- organized crime, tindakan yang menurut hukum sebagai kejahatan oleh pejabat pemerintah dalam tugas jabatannya selaku Wakil Negara.

2. Kejahatan sempurna
Disadari atau tidak, sebagai contoh bahwa penanganann kasus BLBI mengandung adanya kompleksitas tinggi dan terkait dengan adanya aneka penyimpangan. Sejak beberapa tahun yang lalu, masalah ini menjadi perhatian penulis di bidang korupsi peradilan (judicial corruption). Sebelumnya, saat menyoroti master of settlement and acquisition agreement dan terangkai dengan kasus sekarang, mendorong pada memberikan kesimpulan bahwa perjanjian oleh pihak-pihak tertentu sengaja dirancang untuk merugikan negara. Dengan kata lain, bukan hal baru bila dalam kasus BLBI terjadi “kenduri”

di antara sebagian para penegak hukum. Mengingat fakta yang ada semacam itu banyak, maka pendekatan baru tentang fungsi hukum bersifat kriminologi, yakni hukum sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime). Jika terbukti, teori itu agaknya mendapat dukungan empiris. Penggunaan hukum sebagai alat kejahatan kami namakan kejahatan sempurna (Perfect Crime). Dikatakan sempurna karena tindakan itu sengaja dibungkus dengan hukum yang berlaku sehingga seolah-olah merupakan bagian penegakan hukum atau kebijakan resmi. Kejahatan semacam ini umumnya sulit diungkap. Tanpa adanya bukti-bukti spektakuler yang salah satunya adalah rekaman pembicaraan telepon, kasus semacam ini akan menjadi ”dark number”. Jabatan, kewenangan (power of authority) dan alibi hukum menjadi benteng guna menutup upaya penyidikan. Hal ini dapat dilihat pada penghentian penyidikan perkara BLBI oleh Kejagung RI.

3. Kekuasaan Diskresi
Kewenangan bersifat diskresi (discretional power) itu sengaja diberikan UU kepada penegak hukum agar mereka dapat menegakkan hukum dengan menggunakan hukum itu sesuai keadaan yang berlaku dan cita-cita. Namun, di sinilah persoalannya. Karena hakikat penegakan hukum adalah pengambilan keputusan (Hartjen, 1989), unsur kepribadian penegak hukum ikut masuk dalam penegakan hukum. Ketika diterapkan dalam kasus per kasus, secara sosiologi, hukum bersinggungan dengan aneka kepentingan, termasuk kepentingan aparat penegak hukum. Sementara dalam penggunaan hukum, cita-cita dalam aturan hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak diraih sebab sebagian hukum itu digunakan untuk membenarkan aneka tindakan yang telah dan akan dilakukan. Perilaku menegakkan hukum dan sikap menggunakan hukum dalam praktik sulit dibedakan karena kedua pendekatan itu saling berimpitan.

4. Penegakan Hukum
Dua arah didalam kompas antara menegakkan hukum dan menggunakan hukum merupakan paradoks yang harus diseimbangkan penegak hukum dalam kekuasaan diskresi. Dengan demikian, masalahnya menjadi sensitif. Setiap saat hukum pasti dapat diterapkan secara diskriminatif. Hartjen mengingatkan, problem kekuasaan diskresi penegakan hukum adalah tipisnya batas antara diskresi dan diskriminasi. Lebih ekstrem lagi bukan hanya diskriminatif. Menonjolnya sifat teknikalitas hukum modern, sehingga hanya dikuasai kepada mereka yang berkecimpung di bidang hukum, dan dapat mendorong mereka dengan memegang kekuasaan diskresi, memanfaatkan hukum secara leluasa, hingga menggunakan hukum sebagai alat kejahatan. Bergabungnya teknikalitas hukum dan diskresi memudahkan penegak hukum mendapat pembenaran dalam melakukan aneka tindakan merugikan negara. Di sini terjadi anomali, yaitu kejahatan yang memiliki alibi ”demi hukum”, sehingga sulit diungkap seperti misalnya BLBI.

C. Penutup

1. Kesimpulan :
a). Harus ada keseimbangan antara aparatur penegak hukumnya dengan aparat yang lainnya didalam melaksanakan penegakan Hukum
b) Pemahaman tentang Law as Tool of Crime harus diperbanyak tentang maksud dan tujuan sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh
c) Perilaku aparat penegak hukumnya harus dapat memberikan gambaran sebenarnya bahwa didalam penegakan hukum lebih mengarah pada tujuan yang akan dicapai.

2. Saran :
a). Aparat Penegak hukum harus memahami tugas dan fungsinya.
b). Agar lebih mengedepankan cara-cara non litigasi.
c). Kewenangan diskresi harus benar-benar dilaksanakan sebaik- baiknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *