Oleh: Mohamad Djasuli (Sang Pengabdi di FEB UTM, Dosen & Praktisi Akuntansi Sektor Publik)
Bangkalan, Liputan Hukum Indonesia.–
Prolog
Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang terwujud dalam peribahasa, pepatah, maupun ungkapan tradisional. Kearifan ini berfungsi sebagai pedoman hidup, pengendali moral, sekaligus cermin dari pengalaman kolektif. Dalam budaya Madura, salah satu peribahasa yang sarat makna adalah “Asapo’ angen abental omba’”, yang secara harfiah berarti “beralaskan angin, berbantal ombak.”
Ungkapan ini menggambarkan keteguhan hati, daya tahan, dan kemampuan untuk bertahan dalam kondisi serba sulit. Ia adalah metafora tentang kesabaran dan ketabahan hidup orang Madura yang sejak lama berinteraksi dengan lingkungan keras: lahan tandus, cuaca ekstrem, dan laut yang penuh tantangan. Esai ini akan merefleksikan makna filosofis asapo’ angen abental omba’, serta relevansinya sebagai instrumen nilai sosial dalam menghadapi kehidupan modern.
Narasi Utama
Makna Filosofis Asapo’ Angen Abental Omba’
Secara simbolik, peribahasa ini menyatukan dua elemen alam: angin dan ombak.
— Angin melambangkan sesuatu yang tak terlihat, tidak terpegang, namun hadir dan dirasakan. Ia mencerminkan harapan, doa, dan kekuatan batin.
— Ombak melambangkan dinamika kehidupan yang keras, penuh gejolak, dan sering tak terduga.
Dengan demikian, “beralaskan angin, berbantal ombak” adalah simbol penerimaan penuh terhadap realitas hidup, meski penuh kesulitan. Filosofi ini sejalan dengan konsep resiliensi, yaitu kemampuan manusia untuk beradaptasi, bangkit, dan bertahan dari tekanan (Masten, 2001).
Konteks Sosial-Budaya Madura
Budaya Madura kerap diasosiasikan dengan kekerasan (carok) atau kerasnya karakter masyarakatnya. Namun di balik stereotip itu, terdapat daya tahan yang luar biasa. Wiyata (2002) menunjukkan bahwa orang Madura menjadikan harga diri dan kehormatan sebagai fondasi hidup. Kehormatan itu dijaga bukan hanya melalui perlawanan, tetapi juga melalui kesabaran menghadapi keterbatasan.
Dalam konteks geografis, Madura dikenal dengan tanah yang tandus dan sumber daya terbatas. Tidak heran bila orang Madura merantau ke berbagai daerah di Indonesia. Spirit asapo’ angen abental omba’ menjadi energi kolektif dalam menghadapi keterbatasan itu: jika di tanah sendiri sulit, maka laut dan perantauan menjadi pilihan.
Asapo’ Angen Abental Omba’ sebagai Instrumen Kontrol Sosial
Dalam perspektif ilmu sosial, peribahasa dapat dilihat sebagai instrumen kontrol sosial informal. Ia menginternalisasi nilai kesabaran, kerja keras, dan daya tahan kepada anggota masyarakat.
1. Mengajarkan Kesabaran
Ungkapan ini mengingatkan bahwa hidup penuh gejolak harus diterima dengan tabah, bukan dikeluhkan.
2. Mendorong Adaptasi
Dalam menghadapi kesulitan, orang Madura diajak untuk fleksibel, beradaptasi dengan angin kehidupan yang tak pasti.
3. Menjaga Kohesi Sosial
Nilai kesabaran dan daya tahan mencegah munculnya konflik sosial yang destruktif, karena setiap individu diingatkan untuk kuat menghadapi kesulitan bersama.
Dengan demikian, asapo’ angen abental omba’ berfungsi sebagai “modal budaya” (Bourdieu, 1986) yang memperkuat ketahanan komunitas.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Di era globalisasi, masyarakat menghadapi tantangan baru: kompetisi ekonomi, perubahan iklim, migrasi, hingga disrupsi teknologi. Dalam konteks ini, nilai asapo’ angen abental omba’ tetap relevan sebagai pedoman resiliensi.
— Dalam dunia kerja, ia mengajarkan etos kerja keras, pantang menyerah, dan kesiapan menghadapi kegagalan.
— Dalam pendidikan, ia menanamkan daya tahan psikologis bagi generasi muda yang berhadapan dengan tekanan kompetisi akademik.
— Dalam politik dan tata kelola, ia bisa menjadi inspirasi bagi pemimpin untuk tetap tegar menghadapi kritik dan turbulensi sosial.
Konsep ini paralel dengan gagasan resiliensi komunitas yang banyak dibahas dalam literatur modern (Norris et al., 2008).
Refleksi Filosofis
Jika dipandang lebih dalam, asapo’ angen abental omba’ mengandung spiritualitas: bahwa manusia tidak sepenuhnya bergantung pada materi, tetapi juga pada kekuatan tak terlihat—angin sebagai simbol doa dan keyakinan kepada Tuhan.
Sementara ombak adalah ujian duniawi yang harus dilalui dengan kesabaran.
Dengan demikian, falsafah ini bukan sekadar nilai budaya, tetapi juga refleksi religius. Ia mengajarkan bahwa kesabaran dan keikhlasan adalah puncak ketahanan hidup.
Epilog
Asapo’ angen abental omba’ adalah peribahasa Madura yang sarat makna. Ia menggambarkan resiliensi, kesabaran, dan daya tahan masyarakat dalam menghadapi kesulitan hidup. Lebih dari itu, ia berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial yang menginternalisasi nilai-nilai keteguhan pada setiap individu.
Dalam era modern yang penuh ketidakpastian, filosofi ini tetap relevan. Ia bukan hanya warisan budaya, tetapi juga sumber inspirasi untuk membangun resiliensi personal, sosial, dan spiritual. Dengan demikian, asapo’ angen abental omba’ adalah kearifan lokal yang berpotensi menjadi landasan etika hidup di tengah badai globalisasi.
Referensi
— Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). Greenwood.
— Masten, A. S. (2001). Ordinary magic: Resilience processes in development. American Psychologist, 56(3), 227–238.
— Norris, F. H., Stevens, S. P., Pfefferbaum, B., Wyche, K. F., & Pfefferbaum, R. L. (2008). Community resilience as a metaphor, theory, set of capacities, and strategy for disaster readiness. American Journal of Community Psychology, 41(1–2), 127–150.
— Subaharianto, A. (2008). Tradisi dan kearifan lokal masyarakat Madura. Jurnal Humaniora, 20(3), 45–57.
Wiyata, L. T. (2002). Carok: Konflik kekerasan dan harga diri orang Madura. LKiS.