Indeks

BHUPPA’ BHABBU’ GHURU RATO DALAM PERSPEKTIF AKUNTANSI POSTMODERNISME

Oleh: Mohamad Djasuli (Sang Pengabdi di FEB UTM, Dosen & Praktisi Akuntansi Sektor Publik)

Bangkalan,Liputan Hukum Indonesia.–

Preambul
Akuntansi sering dipandang sebagai bahasa bisnis yang netral, objektif, dan universal. Laporan keuangan dianggap merepresentasikan “realitas” secara apa adanya. Namun, sejak kritik postmodernisme berkembang dalam ilmu sosial, klaim netralitas ini semakin dipertanyakan. Postmodernisme menunjukkan bahwa pengetahuan tidak pernah steril dari relasi kuasa, ideologi, dan konstruksi sosial (Foucault, 1977; Power, 1997). Akuntansi, dalam kerangka ini, adalah praktik diskursif yang membentuk dan dibentuk oleh konteks sosial, politik, dan budaya (Hopwood & Miller, 1994).

Dalam konteks Indonesia, khususnya Madura, terdapat kearifan lokal yang dikenal dengan Bhuppa’ Bhabbu’ Ghuru Rato (BBGR). Filosofi ini memuat hierarki penghormatan: ayah, ibu, guru, lalu pemimpin. Ia bukan hanya pedoman etika personal, tetapi juga sistem sosial yang mengatur legitimasi dan kepercayaan masyarakat (Subaharianto, 2008). Ungkapan ini secara sederhana bermakna hierarki penghormatan: pertama pada ayah, kedua pada ibu, ketiga pada guru, dan terakhir pada pemimpin. Dalam perspektif postmodern, BBGR dapat dibaca sebagai sistem makna yang membingkai relasi sosial, moralitas, dan legitimasi kekuasaan. Melalui perspektif postmodernisme, BBGR dapat dipandang sebagai teks budaya yang mendekonstruksi akuntansi formal modern. Pertanyaan yang menarik ialah: bagaimana jika kita menafsirkan akuntansi, khususnya akuntansi sektor publik, melalui prisma BBGR?

Pengejawantahan Narasi

Akuntansi Postmodernisme: Kritik terhadap

Rasionalitas Positivistik
Akuntansi modern lahir dari tradisi positivistik yang menekankan angka, standar, dan pengukuran objektif. Kerangka seperti COSO, IFRS, dan SPIP di Indonesia dibangun atas dasar logika universal: akuntansi yang baik dianggap seragam di manapun (Burchell et al., 1980). Akan tetapi, pendekatan ini menyingkirkan keragaman budaya dan nilai lokal.

Postmodernisme menolak klaim universalitas tersebut. Derrida (1976) dengan deconstruction menegaskan bahwa teks selalu terbuka untuk tafsir. Foucault (1977) menyoroti bagaimana pengetahuan terikat dengan kuasa: siapa yang berhak menyusun standar akuntansi, dan kepentingan siapa yang diuntungkan? Akuntansi, dengan demikian, lebih tepat dipandang sebagai wacana (discourse) daripada cermin realitas. Dalam akuntansi, standar bukanlah cermin realitas, melainkan konstruksi sosial yang melayani kepentingan tertentu (Power, 1997; Chua, 1986).

BBGR sebagai Narasi Lokal

BBGR bukan sekadar adagium etis, melainkan sebuah cultural text yang membentuk pola interaksi sosial masyarakat Madura. Empat elemen BBGR—bhuppa’, bhabbu’, ghuru, rato—mencerminkan struktur nilai yang mengikat individu dalam jaringan moral dan sosial.

— Bhuppa’ (Ayah) melambangkan otoritas moral, integritas, dan tanggung jawab.
— Bhabbu’ (Ibu) mewujudkan kasih sayang, kepedulian, dan akuntabilitas sosial.
— Ghuru (Guru) merepresentasikan pengetahuan, kejujuran, dan teladan.
— Rato (Pemimpin) mencerminkan legitimasi dan kekuasaan politik.

Dalam praktik sehari-hari, BBGR meneguhkan tatanan sosial yang menekankan keseimbangan antara etika, rasa hormat, dan kepatuhan. Ia berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial yang tidak tertulis, namun efektif.

Menurut Wiyata (2002), BBGR berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial. Dalam masyarakat pedesaan, penghormatan terhadap empat pilar ini menentukan legitimasi individu maupun institusi.

Dekonstruksi Akuntansi Formal oleh BBGR

Jika akuntansi modern dipandang sebagai instrumen rasional-formal untuk mencatat, mengukur, dan mengendalikan sumber daya, maka BBGR mengungkap lapisan lain: dimensi moral dan kultural yang menyelubungi praktik akuntansi.

Misalnya, dalam pengelolaan dana desa, SPIP menuntut adanya sistem audit, pelaporan, dan pengawasan formal. Namun di lapangan, legitimasi pengelolaan tidak hanya ditentukan oleh kepatuhan administratif, tetapi juga oleh apakah aparat desa dianggap menjalankan nilai bhuppa’ (tanggung jawab), bhabbu’ (kepedulian), ghuru (keteladanan), dan rato (kepemimpinan yang adil). Dengan kata lain, akuntansi tidak berdiri sendiri, melainkan melekat pada struktur makna lokal.

Di sinilah perspektif postmodern bekerja: ia menyingkap bahwa klaim “netralitas” SPIP hanyalah narasi hegemonik. Realitas sesungguhnya jauh lebih plural—di Madura, akuntabilitas tidak hanya soal dokumen, tapi juga soal legitimasi kultural.

Dengan kerangka postmodern, akuntansi formal hanyalah satu narasi hegemonik. BBGR mengungkap pluralitas legitimasi: akuntabilitas sejati tidak semata administratif, tetapi kultural dan moral (Triyuwono, 2011; Harun & Kamase, 2012).

Akuntansi sebagai Teks Budaya

Miller dan Napier (1993) menyebut akuntansi sebagai praktik diskursif yang membentuk subjek dan objek. Dalam perspektif ini, laporan keuangan, anggaran, maupun mekanisme audit bukan sekadar alat teknis, melainkan teks budaya yang menata relasi sosial.

BBGR memberi bingkai lain: akuntansi dapat dipahami sebagai narasi penghormatan. Anggaran desa bukan sekadar angka, tetapi ekspresi tanggung jawab moral ala bhuppa’. Pelaporan bukan sekadar prosedur, tetapi wujud kasih sayang ala bhabbu’ kepada warga. Audit bukan sekadar evaluasi, tetapi bentuk pendidikan moral ala ghuru. Dan kepemimpinan keuangan desa bukan sekadar jabatan administratif, tetapi representasi legitimasi ala rato

Dengan demikian, akuntansi dalam perspektif BBGR adalah narasi penghormatan, bukan sekadar teknis pengukuran.

Implikasi Postmodern

Ada tiga implikasi utama:
1. Pluralitas Akuntansi
Praktik akuntansi sah dipahami secara lokal (BBGR di Madura) sama sahnya dengan IFRS di Eropa (Chua, 1986).
2. Akuntansi sebagai Relasi Kuasa
BBGR menunjukkan bahwa otoritas akuntansi tidak netral. Siapa yang berhak menentukan laporan keuangan? Bagaimana legitimasi diperoleh? Semua dipengaruhi oleh struktur sosial (Foucault, 1977).
3. Dekonstruksi Akuntabilitas
Akuntabilitas formal (dokumen, audit) tidak cukup. Akuntabilitas substantif muncul ketika aparat dianggap memenuhi etika bhuppa’, kepedulian bhabbu’, keteladanan ghuru, dan kepemimpinan rato. Akuntabilitas formal harus dilengkapi dengan akuntabilitas substantif berbasis nilai kultural (Triyuwono, 2016).

Penutup
Perspektif postmodern membantu kita melihat bahwa akuntansi bukan sekadar seperangkat teknik netral, melainkan praktik sosial yang terikat budaya. Bhuppa’ Bhabbu’ Ghuru Rato menghadirkan alternatif narasi yang menekankan bahwa akuntabilitas adalah praktik moral sekaligus administratif.
Dengan mengakui keberadaan narasi lokal ini, akuntansi sektor publik di Indonesia tidak jatuh dalam hegemoni rasionalitas teknokratis semata. Sebaliknya, ia dapat berkembang menjadi akuntansi yang culturally embedded, plural, dan lebih bermakna bagi masyarakat.

Daftar Pustaka
Burchell, S., Clubb, C., Hopwood, A. G., Hughes, J., & Nahapiet, J. (1980). The roles of accounting in organizations and society. Accounting, Organizations and Society, 5(1), 5–27.
Chua, W. F. (1986). Radical developments in accounting thought. The Accounting Review, 61(4), 601–632.
Derrida, J. (1976). Of Grammatology. Johns Hopkins University Press.
Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
Harun, H., & Kamase, H. (2012). Accounting change and institutional capacity: The case of a provincial government in Indonesia. Asian Review of Accounting, 20(3), 242–260.
Hopwood, A. G., & Miller, P. (Eds.). (1994). Accounting as social and institutional practice. Cambridge University Press.
Miller, P., & Napier, C. (1993). Genealogies of calculation. Accounting, Organizations and Society, 18(7–8), 631–647.
Power, M. (1997). The Audit Society: Rituals of Verification. Oxford University Press.
Subaharianto, A. (2008). Tradisi Bhuppa’ Bhabbu’ Ghuru Rato sebagai sistem nilai masyarakat Madura. Jurnal Humaniora, 20(3), 45–57.
Triyuwono, I. (2011). Angels: Profit and loss sharing system. Humanomics, 27(4), 248–261.
Triyuwono, I. (2016). Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Rajawali Press.
Wiyata, L. T. (2002). Carok: Konflik kekerasan dan harga diri orang Madura. LKiS.

Exit mobile version